Rabu, 18 Januari 2012

antara Jogja dan Seoul

antara Jogja dan Seoul ! (girl version)

dia menarikku dari kerumunan orang banyak dan menyuruhku untuk tetap berdiri disampingnya, dekat sekali dengan jantungnya. sampai-sampai rasanya aku bisa mendengar detak jantungnya. oh! salah, itu suara detak jantungku sendiri! yah, jantungku berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya, eh salah, tiga kali, eh empat kali, salah lima kali, aahhh salah, sepertinya berkali-kali lipat dari biasanya. ada apa denganku? tiba-tiba saja tubuhku menjadi kaku begini? aku seperti susah bernafas! oh my God!
lelaki ini... sungguh berbeda dengan biasanya yang kasar dan pemarah!
kami berhenti di halte berikutnya, dan segera turun dari trans jogja. tapi kenapa jantungku masih berdetak sekencang tadi? kenapa belum kembali normal? oh Tuhan... kenapa denganku? lihatlah, dia masih saja menggenggam tanganku sampai kami benar-benar keluar dari halte. benarkah dia Puja yang aku kenal selama ini?
“Sudah!”, serunya sesudah kami berada di tempat yang jauh dari keramaian.
“Harusnya kamu tadi lebih bisa menjaga diri, kenapa tidak menjauh dari mereka? Baru saja naik bus kota sudah merepotkan! Apa aku harus setiap hari menjagamu didalam bus kota, Hah?!”, bentaknya tiba-tiba.
orang ini aneh sekali! tadi dengan sengaja dia bisa menarikku dan mendekapku didalam bus kota, lalu dengan sengaja juga menggandeng tanganku sampai kami turun dari bis kota, dan tiba-tiba saja sekarang dia marah-marah tanpa alasan. aku benar-benar tak mengerti! ups, pasti mukaku tiba-tiba saja berubah jadi blo’on! aaahhhhhhh! apa dia melihat ekspresiku tadi? ya Tuhan...
dia melengos dan langsung saja pergi menjauh dariku.
“hey! ini bukan korea, kalau kau meninggalkan seorang perempuan sendirian seperti bahaya tahu!”, tapi dia tidak menggubris teriakanku dan dengan santainya tetap saja berjalan meninggalkanku.
“Kalau takut bahaya, yah sudah, cepat susul aku!”, serunya tanpa menengok ke arahku.
“Hah! orang ini, benar-benar...!”, gerutuku sambil berlari kecil mengejar langkahnya yang semakin menjauh saja.
***

Dia Raditya Puja. Mahasiswa universitas Gangnam, Seoul, Korea Selatan. Mahasiswa terbaik Fakultas Seni disana. Sepupuku yang paling tua dan paling ganteng di keluargaku. Seminggu yang lalu baru tiba di Indonesia, katanya sih sedang menikmati masa liburannya. dan anehnya tiba-tiba saja dia mengajakku untuk menghabiskan liburannya di Jogja! aneh banget gak sih? menurutku sih aneh! aneh banget! aneh lagi, sepertinya nama itu tidak asing...
seminggu sudah dia di Jogja, berkeliling-keliling menikmati keindahan Jogjakarta. Shoping di Malioboro, naik andong, foto-foto di tugu, wisata malam di sepanjang jalanan kota Jogja. dan yang paling lucu saat dia naik becak, dia yang udah lama gak pernah pulang ke Indonesia tiba-tiba saja pulang kampung dan hal pertama yang paling ingin dilakukannya adalah naik becak!
“Becak, mengingatkanku pada sesuatu yang tidak pernah bisa aku lupa”, katanya dengan sedikit memejamkan mata dan tersenyum kecil.
“emang kenapa?”, tanyaku tanpa basa-basi.
“Dulu pas masih di Jogja, aku pernah naik becak berdua sama seorang gadis kecil, gara-gara dia nangis minta dianter pulang dan berhubung aku gak ada kendaraan jadinya aku nganterin dia pulang naik becak. tahu gak? dia seneng banget! dia bilang kalau itu kali pertamanya naik becak. itu hal pertama yang bikin aku seneng, karena ngebuat dia tersenyum kembali”.
aku hanya terdiam mendengarkan dia berbicara. sepertinya aku merasakan sesuatu yang aneh.
***

Kami sudah sampai dirumah. dan besok adalah hari terakhirnya di Jogja, tiga puluh lima hari itu berjalan dengan sangat cepat. syukurlah, karena mulai besok aku sudah tidak perlu repot-repot mengantarkannya berkeliling kota Jogja. bisa tidur dengan tenang. bisa mengerjakan PR lebih awal dan bisa beraktifitas seperti biasanya. senangnya!
Rasanya sudah lama tidak menghirup udara segar di kamarku yang kecil ini. dengan langkah santai aku membuka jendela kamarku dan udara malam yang dingin menerobos masuk kedalam ruangan kecil yang sempit itu.
“dia gak inget apa-apa. bahkan aku sudah pernah memancingnya mengingat masa lalunya. tapi dia speertinya tetap gak inget. tapi aku seneng bisa menghabiskan banyak waktu dengannya, Ma...”.
samar-samar aku mendengar sebuah suara yang aku tahu dengan pasti pemiliknya. karena kamar kami bersebelahan, jendelanya pun bersebelahan, dan pastinya apapun yang dibicarakan saat kedua jendela sama-sama terbuka semuanya bisa mendengar. dengan hikmat aku mendengarkan celotehan suara diseberang sana.
“besok hari terakhirku disini, Ma. aku berharap sekali ada keajaiban sehingga dia mengingatku. mengingat janji kita untuk saling menunggu...”
dua belas tahun yang lalu...
“aku harus pergi, karena orangtuaku pindah kerja jadinya aku harus pergi ikut bareng mereka, Lin”. ucap seorang anak lelaki berambut cepak dan sedikit lebih tinggi dariku.
aku hanya dia mendengarkannya. aku bahkan belum mengerti apa yang dikatakannya. namun, aku tahu saat itu dia menangis dihadapanku.
“tunggu aku ya... jangan pacaran sama orang lain ya!”. suruhnya dengan tegas. dan aku hanya mengangguk kecil tanpa tahu apa yang dimaksud dengan kata “pacaran” yang sesungguhnya.
“janji?”, aku kembali mengangguk dan tersenyum padanya. kali ini aku tahu apa yang dimaksud dengan “janji”.
aku menutup mulutku dengan kedua tanganku! astaga! aku segera berlari keluar dari ruangan sempit yang selalu mengurungku dikamar. menanti datangnya hari ini dengan begitu membosankan.
“... tapi walaupun dia akhirnya tidak mengingat apapun, gak apa-apa kok, Ma. lagipula kita juga udah lama gak ketemu. kita juga sepupuan, mana boleh se...”
aku tahu dengan pasti dia melihatku. sekarang aku tengah berdiri dihadapannya. dengan mata berkaca-kaca aku terus menatapnya. menatap seseorang yang aku lupakan, tapi sebenarnya aku tunggu-tunggu. aku menunggunya selama ini. dan saat dia ada dihadapanku, aku tidak menyadarinya. bodohnya aku...
“Lintang?”, Puja tersentak kaget melihatku yang tiba-tiba berdiri dihadapannya.
“Kamu? bodoh banget sih aku, gak nyadar kalo ini kamu!”
“Lintang...”
“kenapa kamu gak ngomong dari awal, Dit? Kenapa kamu cuma diem aja? pastinyalah aku lupa siapa kamu! kamu gak inget dua belas tahun yang lalu aku umur berapa? aku gak bisa mengingat wajah orang dua belas tahun yang lalu dengan baik. aku gak bisa mengingat wajahnya yang sudah berubah sekarang. mengingat namanya pun aku gak bisa, setelah dia mengganti nama panggilannya sejak sebulan yang lalu!”, gerimis dimataku mulai berjatuhan, semakin deras dan semakin deras saja.
“Lin...”
“Peristiwa saat kita naik becak itu, aku ingat! aku sangat ingat, seseorang itu membuatku tersenyum kembali setelah aku hanya bisa murung karena kepergian mama...”
“Lin...”
“Janji dua belas tahun yang lalu, aku juga masih ingat! aku masih ingat dengan jelas, Dit!”, banjir sudah tak bisa lagi dibendung dari kedua kelopak mataku.
dia mendekapku, lagi! dinginnya malam tak lagi kurasakan. aku bisa mencium wangi parfumnya. aku bisa merasakan jantungnya berdetak lebih kencang hari ini. dan aku juga merasakan jantungku pun ikut berdetak kencang. seperti saling berkejaran. dan tangisku benar-benar pecah dalam pelukannya!
“maafin aku, Lintang. maaf... aku hanya takut kamu akan pergi kalau aku langsung mengaku siapa diriku. aku takut kamu melupakanku... melupakan janji kita. aku takut kamu tidak menungguku...”
aku hanya mendengarkannya dan masih menangis dalam pelukannya.


antara Jogja dan Seoul ! (boy version)
akhirnya kuhirup lagi udara jogja yang ramah. di bandara adisucipto, aku bisa merasakan detak jantungku berdendang lebih kencang dari biasanya. aku merasakan perasaan bahagia yang sangat kuat dan hebat. sebuah senyum terbentuk dari sudut bibirku. dan aku merasakan kenangan di masa lalu kembali hidup.
aku melihatnya duduk lesu disalah satu bangku tunggu. dia memegang sebuah kertas bertuliskan nama Raditya Puja. aku hanya bisa tersenyum melihatnya. dia benar-benar berubah. lebih cantik!
aku menghampirinya dan tersenyum padanya. dia mendongak ke arahku dan tersenyum.
“Raditya Puja?”, aku mengangguk tak sabar melihat senyumnya yang berikutnya. yah! dia tersenyum lagi.
lihatlah, bahkan aku masih saja bisa menebak kebiasan-kebiasaannya. dia belum berubah. masih Lintang kecilku yang dulu.
***

aku tahu dia lelah menemaniku seharian selama beberapa hari ini. maafkan aku Lintang kecilku. tapi ternyata daya berpikirmu masih selemah dulu, padaku pun kamu tak ingat? kenangan masa kecil kita, apakah kamu sudah benar-benar lupa? melupakannya dengan semudah itu? oh!
dengan kasar aku menyuruhmu untuk menjauh dariku tadi, maafkan aku. namun, aku tak tega melihatmu terseok-seok di angkutan umum ini. bahkan kamu masih saja manja seperti dulu. aku mulai geregetan melihatmu berkali-kali hampir terjatuh, dan lihat, apa kamu tidak sadar siapa disampingmu? lelaki-lelaki itu pasti mereka hanya mau mengambil keuntungan saja. bodoh!
maafkan aku juga karena secara kasar menarikmu kesampingku. tapi, aku merasakan sesuatu yang lain saat kita berdekatan. aku merasa jantungku berdetak lebih kencang. apakah kamu juga iya? aku merasa waktu berlalu sedikit lebih lambat. yah, terimakasih waktu sudah mengerti keadaan ini. tapi aku menikmati berdiri berdekatan denganmu seperti ini. bahkan kamu pun tak menolaknya. diam-diam aku senyum kecilku mengembang, tanpa kamu ketahui.
“aku baru pertama kali naik bus kota”, ucapnya lembut seperti anak kecil yang sedang merasa bersalah.
sebentar lagi kami akan sampai ke perhentian berikutnya. sudah dekat dengan komplek rumah Lintang. kenapa begitu cepat berlalu?
aku masih saja menggandeng tangannya sampai kami turun dari halte bus. dan dia sama sekali tak berani menatapku. apakah sikapku terlalu berlebihan hari ini?
“Harusnya kamu tadi lebih bisa menjaga diri, kenapa tidak menjauh dari mereka? Baru saja naik bus kota sudah merepotkan! Apa aku harus setiap hari menjagamu didalam bus kota, Hah?!”, bentakku mengalihkan suasana yang tiba-tiba menjadi kaku. sekali lagi maafin aku Lintang...
***

“... tapi walaupun dia akhirnya tidak mengingat apapun, gak apa-apa kok, Ma. lagipula kita juga udah lama gak ketemu. kita juga sepupuan, mana boleh se...”
tiba-tiba Lintang berdiri dihadapanku. apakah dia mendengar semua obrolanku dengan ibuku? apakah dia sekarang mengingat semuanya?
“Lintang?”, seruku sedikit kaget. bingung harus berkata apalagi, aku lebih memilih diam memperhatikannya yang sudah sedikit terlihat sayu.
“Kamu? bodoh banget sih aku, gak nyadar kalo ini kamu!”
“Lintang...”
“kenapa kamu gak ngomong dari awal, Dit? Kenapa kamu cuma diem aja? pastinyalah aku lupa siapa kamu! kamu gak inget dua belas tahun yang lalu aku umur berapa? aku gak bisa mengingat wajah orang dua belas tahun yang lalu dengan baik. aku gak bisa mengingat wajahnya yang sudah berubah sekarang. mengingat namanya pun aku gak bisa, setelah dia mengganti nama panggilannya sejak sebulan yang lalu!”, matanya mulai berkaca-kaca. dan aku sungguh tak kuasa melihatnya.
“Lin...”
“Peristiwa saat kita naik becak itu, aku ingat! aku sangat ingat, seseorang itu membuatku tersenyum kembali setelah aku hanya bisa murung karena kepergian mama...”
“Lin...”
“Janji dua belas tahun yang lalu, aku juga masih ingat! aku masih ingat dengan jelas, Dit!”, mendung tadi sudah berubah menjadi hujan badai di kelopak matanya. dia menangis! kali ini benar-benar menangis!
aku berjalan kearahnya, dan menariknya kearahku. dia semakin menangis dibahuku. tempatnya biasa menangis ketika merindukan mamanya. rambutnya yang panjang tergerai melambai-lambai di wajahku. dia Lintangku yang malang, sedang menangis karena kebodohanku.
 “maafin aku, Lintang. maaf... aku hanya takut kamu akan pergi kalau aku langsung mengaku siapa diriku. aku takut kamu melupakanku... melupakan janji kita. aku takut kamu tidak menungguku...”
dia tak bersuara, hanya menangis dibahuku...

love, love, love and love :*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar