Dia datang menyapaku di pagi hari
Dia tersenyum padaku
Dia seperti cahaya mentari pagiku
Menghangatkanku
Aku bahkan tidak pernah tahu siapa dia sebelumnya. Kami… berbeda….
Tiba-tiba saja ruangan itu menjadi hangat dan sebuah sinar menyilaukan mataku. Sehingga, aku terpaksa membuka mata dan kudapati sesosok tua dihadapanku.
“Selamat pagi”, sapa wanita baya itu.
“Ah… nenek…”. Wanita baya itu adalah nenekku. Dari kecil aku hidup dengannya dan mengalami masa-masa sulit dengannya. Menurutku dialah satu-satunya wanita yang mengerti aku dan selalu memahamiku.
“Ayo bangun, enggak mau berangkat sekolah?”, tanyanya lembut tapi tegas.
Aku bangun dan berjalan menuju kamar mandi dengan langkah gontai. Ku temui sosok lelaku baya didapur sedang duduk-duduk di meja makan. Ya, dia kakekku. Dia tersenyum padaku, menyapaku, namun aku menghiraukannya dan terus saja melangkah menuju kamar mandi.
Setengah jam kemudian aku sudah siap dengan seragamku dan sudah selesai sarapan. Ku cium tangan kakek dan nenekku lalu berangkat ke sekolah. Hidupku benar-benar berjalan biasa-biasa saja. Hidup dirumah gedhek dengan ruangan yang disekat oleh triplek dan sebuha meja makan berjejer dengan meja belajar, dan disekat dengan lemari makan dengan dapurnya. Satu-satunya hiburan yang ada hanya sebuah radio tua yang sudah usang, yang selalu disetel oleh kakek saat aku dan nenek tidak dirumah. Kakekku seorang pensiunan, sebenarnya dia belum saatnya pensiun, namun karena penyakitnya dia terpaksa dipensiunkan.
Nenekku adalah wanita yang tegar. Walaupun kehidupan kami serba pas-pasan dia selalu tabah. Dia wanita yang tangguh. Tidak pelit dan tidak perhitungan. Bagiku dia wanita sempurna. Dia memang galak, tapi dibalik itu semua dia sangat perhatian. Hal sekecil apapun pasti dia pikirkan. Dia tidak pernah tega melihat anak dan cucunya kesusahan, namun dia sangat tegas. Masakannya enak, aku paling suka nasi goring buatannya. Beliau juga piawai membuat kue. Dia benar-benar wanita hebat.
Kakekku, apa sih yang tidak mungkin bisa dilakukannya? Bisa dikatakan, dia multiltalenta. Dia bisa segala hal, mulai dari bekerja “tukang” sampai menggambar buah pepaya untuk tugas menggambarku sewaktu sd. Hanya saja, dia tidak begitu bisa memasak. Dia sangat tampan. Pemarah dan galak. Namun, dia begitu lemah, sangat lemah, dan aku menyesal tidak bisa menjaganya. Ini penyesalan yang tidak pernah mati. Hingga saat dia meninggal, aku belum sempat meminta maaf padanya.
“nanti disaat usia yang ke tujuh belas, kita beli kue tar dan undang semua teman-teman Isma ya”, ucap nenek sambil tersenyum ke arahku.
“hah? Malu, Nek. Kan udah gede” sahutku.
“Lah? Kenapa? Enggak apa-apa” sahutnya lagi.
Dihari yang lain.
“Nek, aku ingin pulang ke Asembagus”.
“Iya, nanti. Nanti nenek pasti antar”, jawab nenek kepadaku dan aku tersenyum saja padanya. Tanpa aku sadari, semua pintaku selalu nenek penuhi.
“Ma, kakek pengen di kamar ini ya, kamar kakek terlalu sempit, kaki kakek sakit-sakit”, pinta kakek di suatu pagi. Namun aku malah marah-marah padanya. walau akhirnya aku bersedia bertukar kamar dengannya.
“Ma, tolong beliin figura yang gede ya. Kakek pengen majangin foto kakek dan nenek diruangan ini”, suruh kakek. Dan aku pun mau, karena aku ingin korupsi sedikit dari uang kakekku. Kakekku yang malang.
*1 “Bapak ki, nek Arya njaluk duit, mesti ngomonge ra ono. Wes dikekke neng bu Ais kabeh poh? Bapak ki wes tuo, meh ngopoe dadak kawin meneh? Mbok di akehi sholat e. Tobat. Nggo sangu mati”, kata-kata ayahku membangunkanku di tengah malam buta.
*2“Yoh ora ngono, maksudte bapak ki, men bapak kie eneng kancane. Men bapak ki ora dewean….”
*3“TAE !” bentak ayahku.
Aku dengar suara langkah kaki kakekku menjauh dan masuk ke dalam kamarnya yang sempit dulu, sebelum bertukar kamar denganku. Saat kurasa ayahku sudah pergi, aku bangun dan pergi ke kamar kakekku. Ku buka pintu kamarnya, dan ku temukan dia sedang melamun, dia memejamkan matanya tapi sebenarnya tidak tidur. Dia melihatku dan tatapannya sangat sedih. Aku menghampirinya dan duduk disebelahnya, ku usap tangannya.
“Kakek, enggak apa-apa?”
Kakekku tersenyum, “Enggak”.
*4“Arapa?” tanyaku dalam logat Madura.
*5“Tadek, Isma mak gitak tedhung? Kassak Isma boboklah. Kakek tak arapa-rapa”. Sahut kakekku seolah-olah dia baik-baik saja.
Aku sedih melihat kakekku berpura-pura baik-baik saja. Aku sadar dia tidak benar-benar baik-baik saja.
“Isma anu apa?” Tanya kakekku.
“Tadhek, Isma tak anu apa-apa. Perak nata buku gebei lagguna. Bedhe apa, Kek?” tanyaku.
“Isma, keberatan enggak mun Kakek nikah pole? Beremma pendapatta Isma?” Tanya kakekku.
Aku diam sejenak.
“Isma tak apa-apa, selama iku positif gebei Kakek”. Kakekku terlihat bahagia. wajahnya sangat berseri-seri. Aku tahu kakekku sangat kesepian setelah nenekku meninggal. Namun tak ada yang mengertinya. Bahkan ayahku, anaknya, dia terlalu egois untuk mengerti.
Malam itu kakekku menonton televisi sampai larut malam. Dan malam itu juga aku mencuci kamar mandi, niatku agar kamar mandi itu bersih dan tidak licin. Karena aku takut kakekku terjatuh gara-gara kamar mandi yang licin. Namun, sepulang sekolah aku tidak menemui lagi kakekku. Aku pikir kakekku sedang mandi, namun aku merasa ada sesuatu yang janggal. Setelah satu jam lamanya, kakekku belum juga keluar dari kamar mandi. Setelah aku ketok-ketok kamar mandi agak lama, akhirnya aku memutuskan untuk membukanya secara paksa. Lemas badanku ini saat aku melihat kakekku jatuh di kamar mandi dengan posisi kepala dipintu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar